Komnas Perempuan Desak Revisi UU TPPO, Sebut Modus Kejahatan Semakin Canggih dan Meresahkan
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Irwan Setiawan, UU No. 21 Tahun 2007 sudah tidak relevan lagi dengan tantangan baru yang dihadapi saat ini.
Irwan menjelaskan, perkembangan teknologi informasi telah memberikan dampak signifikan pada modus operandi para pelaku TPPO. Penipuan dan perdagangan manusia kini lebih sering melibatkan media sosial sebagai alat perekrutan korban, yang sering kali melibatkan perempuan sebagai target utama.
“Revisi UU TPPO bukan sekadar formalitas, tetapi kebutuhan mendesak agar hukum kita mampu menjawab tantangan kejahatan perdagangan orang yang makin kompleks,” tegas Irwan Setiawan, Komisioner Komnas Perempuan.
Salah satu poin penting dalam revisi UU TPPO yang diusulkan adalah pembentukan Badan Nasional TPPO. Irwan berharap badan ini bisa memiliki kewenangan yang setara dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta anggaran yang memadai untuk melaksanakan tugasnya secara efektif.
“Badan ini akan memiliki struktur organisasi yang jelas dan anggaran yang cukup, sehingga dapat mengatasi masalah TPPO hingga ke jaringan sindikat internasional,” ungkapnya.
Irwan menambahkan, keberadaan badan khusus ini akan lebih efektif dalam menangani kasus TPPO, dibandingkan dengan satuan tugas yang sifatnya sementara. Selain perbaikan regulasi dan penegakan hukum yang lebih tegas, sosialisasi kepada masyarakat mengenai bahaya TPPO juga perlu ditingkatkan.
“Kasus TPPO seringkali melibatkan perempuan yang menjadi korban eksploitasi seksual, kerja paksa, bahkan penjualan organ. Penting untuk memberi edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana modus-modus baru ini beroperasi,” tambahnya.
Menurut data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2020–2024, terdapat 267 kasus TPPO yang melibatkan perempuan. Mereka menjadi korban kerja paksa, eksploitasi seksual, penjualan organ, hingga pengantin pesanan.
Irwan juga mencatat adanya keterkaitan TPPO dengan penyelundupan narkotika lintas negara dan kekerasan berbasis gender. Akar permasalahan ini tidak lepas dari kemiskinan struktural dan ketimpangan hubungan kuasa yang ada di masyarakat. (red)