Konflik Lahan di Tengah Proyek Pemukiman Mewah Pesisir Tangerang
Pria 49 tahun itu kena vonis satu tahun penjara Pengadilan Tinggi Banten, setelah banding dari vonis empat tahun di Pengadilan Negeri Tangerang.
Dalam putusan banding, Charlie dikualifikasi sebagai turut serta bukan pelaku. Hakim Pengadilan Tinggi Banten menilai dia terbukti melanggar Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP terhadap Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
Ghufroni, Kuasa hukum Charlie Chandra, mengatakan, kasus ini bermula saat Charlie memiliki tanah sepeninggalan sang ayah seluas 8,7 hektar di Desa Lemo, Kecamatan Teluknaga hendak balik nama. Ayahnya, Suminta Chandra meninggal dunia.
Ketika proses balik nama, pria 49 tahun ini lantas PT.Mandiri Bangun Makmur (MBM), anak perusahaan PT.Agung Sedayu Group (ASG) yang menangani pembebasan lahan melaporkan ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pemalsuan sertifikat.
Agung Sedayu Group merupakan perusahaan yang melakukan pengembangan kawasan mewah Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di pesisir Kabupaten Tangerang.
“Itu kan atas nama bapaknya. Kemudian ada yang mengklaim sepihak,” ucap Gufron kepada tabir87news.co.id.
Dalam dokumen putusan persidangan tingkat pertama, MBM mengklaim menguasai tanah melalui proses jual beli dengan ahli waris pemilik pertama atas nama The Pit Nio pada 2015.
The Pit Nio sebagai pemilik pertama tanah itu sejak 1969. Kemudian terjadi peralihan hak lewat proses jual beli dari The Pit Nio kepada Chairil Wijaya pada 12 Maret 1982 dan 26 Desember 1988 terjadi peralihan kembali dari Chairil Wijaya kepada Sumita Chandra.
Proses peralihan hak dari Chairil Wijaya kepada Sumita Chandra lantas dianggap tidak sah karena The Pit Nio diklaim tak pernah membubuhkan cap jempol dalam akta jual beli (AJB).
Charlie kena tuding memalsukan dokumen permohonan balik nama sertifikat hak milik yang dia ajukan kepada BPN Kabupaten Tangerang.
Padahal, dalam dokumen putusan 726/Pdt/1998/PT.Bdg menguatkan bahwa AJB 1988 dinyatakan sah. Sumita Chandra adalah pembeli beritikad baik yang dilindungi hukum. “Berdasarkan fakta-fakta persidangan dan saksi ahli Itu memang seperti ini bukanlah merupakan suatu perbuatan tindak pidana,” kata Gufron.
Dia bilang, hakim telah mengabaikan berbagai bukti dan fakta dari persidangan. Menurut dia, apa yang Charlie lakukan hanya ingin balik nama sertifikat yang sebelumnya atas nama sang ayah.
Nono Sampono, Direktur Utama MBM mengklaim tanah itu dari awal sudah dikuasai The Pit Nio. Ahli waris The Pit Nio memberikan kuasa kepada MBM untuk menyelesaikan sengketa lahan yang terjadi. “Kemudian pada waktu diserahkan (proses jual beli) tentunya kita akan membantu ahli waris untuk menguasai lahan itu,” katanya dalam sidang Mei lalu.
Pensiunan TNI Angkatan Laut berpangkat Letjen ini klaim, sertifikat tanah atas nama The Pit Nio diambil tanpa sepengetahuan Paul Chandra, keponakannya. Pada 1982, Paul Chandra menggadaikan tanah kepada Khairil Wijaya dan membuat AJB dengan memalsukan cap jempol The Pit Nio. Kemudian pada 1988, AJB yang beralih atas nama Khairil Wijaya diberikan kepada Sumita Chandra, karena motif utang piutang. AJB itu pun dibuat atas nama Sumita Chandra.
The Pit Nio pun melaporkan dugaan pemalsuan itu ke polisi. Pada 1993, terdapat putusan Pengadilan Negeri Tangerang menyatakan Khairil Wijaya dan Sumita Chandra bersalah serta vonis penjara.
“Kemudian AJB Nomor 202121 tahun 1882 atas nama Khairil Wijaya dan AJB Nomor 38/Teluk Naga 1988 atas nama Sumita Chandra divonis dalam keputusan ini adalah batal demi hukum,” kata Nono.
Setelah dua dekade, kasus ini kembali muncul ke polisi. Polda Banten pun menetapkan Sumita Chandra sebagai tersangka pada 26 Desember 2014 dan menerbitkan daftar pencarian orang (DPO) 16 April 2015. Dia kemudian meninggal pada 16 November 2015.
“Pada saat DPO yang bersangkutan almarhum membawa sertifikat yang tadi itu yang sudah diputuskan bermasalah. Artinya, Charlie Chandra menguasai sertifikat SHM Nomor 5/Lemo yang masih atas nama Khairil Wijaya,” ucap Mantan Kepala Badan SAR Nasional era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.
Pada 2016, Kejaksaan Agung memblokir SHM Nomor 5/Lemo tahun 2018. Sekaligus, mengakui kepemilikan ahli waris atas nama The Pit Nio pada lahan itu.
Tolak jual tanah berujung bui
Kepada tabir87news.co.id, Gufroni membantah pernyataan yang Nono Sampono, sampaikan. Tanah itu memang sempat bersengketa. Pada 1997, hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan, Chairil Wijaya cs telah melakukan perbuatan melawan hukum atas tuduhan pemalsuan sertifikat.
Dalam Putusan Perdata, hakim menyatakan Vera Juniarti Hidayat merupakan pemilik sah tanah seluas 8,7 hektar di Desa Lemo itu atas hibah dari pemilik pertama, The Pit Nio. Hakim memerintahkan pembatalan AJB dan sertifikat itu.
Namun, pada 1998, putusan itu dibatalkan setelah Chairil Wijaya cs mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Di tingkat kasasi dan peninjauan kembali Chairil Wijaya cs juga menang.
Begitu pula, saat perkara sengketa itu diadili di PTTUN Jakarta dimenangkan Chairil Wijaya. Mahkamah Agung juga menolak kasasi dari putusan itu.
Gufron bilang, fakta yang disampaikan tersebut lantas tidak menjadi pertimbangan. "Padahal, kita udah ungkapkan data-data bahkan hasil riset kita bahwa ini terkena dengan proyek PIK 2. Dimana situ juga ada keterlibatan Agung Sedayu Group untuk melakukan okupasi tanah-tanah masyarakat.”
Gufron menuturkan, pola kriminalisasi yang dialami Charlie Chandra serupa dengan sang ayah, Sumitra Chandra.
Pada 2015, Sumitra diminta menjual tanah untuk pengembangan PIK 2, namun ditolak. Tak lama setelahnya, Sumitra dilaporkan atas tuduhan melakukan pemalsuan cap jempol dalam Akta Kuasa Nomor 18 tertanggal 3 Juni 1982 atas nama The Pit Nio.
“Ayahnya sempat ditersangkakan, namun meninggal dunia di Australia,” kata Gufron.
Begitu pula Charlie. Dia diundang ke kantor PIK 2 pada 13 September 2021, menyusul penawaran pembelian tanah seluas 8,7 hektar, warisan sang ayah.
Charlie menolak. Tak lama setelah itu, Charlie justru dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas tuduhan penggelapan sertifikat atas tanah yang dia miliki.
Sertifikat masih atas nama Sumitra. Hingga kini, tidak ada satu pun putusan pengadilan yang membatalkan AJB maupun SHM atas nama Sumita Chandra.
Satu sisi, Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang lantas menerbitkan SHGB di atas tanah Sumita untuk PIK 2.
“Jadi, dia mempertahankan haknya. Tapi malah dikriminalisasi,” ucap Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, pola kriminalisasi dalam konflik agraria selalu jadi senjata.
Perlawanan Charlie seharusnya disikapi pemerintah untuk investigasi di lapangan terkait ketaatan dan prosedur pengembang sesuai agenda reforma agraria.
“Pemerintah daerah harus turun tangan. Kalau tidak ada keberpihakan pemerintahan ini yang katanya ingin juga memastikan keadilan bagi rakyat itu juga tidak akan tercapai,”
Ketika masih ada kriminalisasi dan intimidasi dalam proses ekspansi PIK 2, berarti proyek ini bermasalah.
“Sangat disayangkan kalau masih ada kriminalisasi terhadap masyarakat yang sebenarnya mereka yang paling berhak atas tanah.”
Pola ambil alih lahan
Charlie, hanya satu dari sekian masyarakat di Pesisir Tangerang yang mendapat tekanan untuk menjual tanah dengan harga murah demi pegembangan PIK 2.
Gufron bilang, banyak yang menjadi korban, hanya masyarakat takut melapor. Transaksi pelepasan lahan biasa oleh broker. Mereka mendatangi masyarakat agar menjual tanah dengan harga murah.
Bila menolak, mereka akan mendapat intimidasi. Broker ini akan mengancam pemilik lahan dengan tuduhan melakukan tindakan melawan hukum, contoh, pemalsuan sertifikat.
Polanya, ada seseorang mengklaim sebagai pemilik asli lahan yang melaporkan ke polisi atas dugaan pemalsuan sertifikat. Sampai mediasi, bila masyarakat tetap menolak menjual tanah maka laporan akan lanjut hingga ke pengadilan.
Dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus lahan di pesisir Tangerang juga menjadi sorotan.
Gufroni sempat melaporkan anggota Satreskrim Polres Kota Tangerang, AKP Y Hendra, kepada Divisi Propam Polri atas dugaan intimidasi pemaksaan terhadap warga Kecamatan Kronjo untuk menandatangani surat kesepakatan jual beli.
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan Propam (SP2HP), Hendra dinyatakan terbukti melanggar kode etik. “Berdasarkan hasil gelar perkara, ditemukan cukup bukti ada pelanggaran kode etik profesi Polri oleh AKP Hendra, mantan Kanit unit 3/Harda Satreskrim Polres Kota Tangerang Polda Banten,” tulis SP2HP2 yang ditandatangani Kombes Pol Bambang Satriawan, Kabag Inpam Ropaminal Divpropam Polri.
LBHAP menerima 26 laporan masyarakat berkaitan perampasan tanah. Dia bilang, dari 26 laporan itu, masyarakat menolak jual tanah dengan harga murah. Dia mengatakan, tanah masyarakat yang bersertifikat hak milik ditawar dengan harga, mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 50.000. “Sementara dari pemda juga seperti terlepas tangan. Memang diindikasinya terlibat. Oknum-oknum pemda, oknum BPN, oknum aparat desa juga terlibat,” katanya.
Keterlibatan pejabat BPN sempat terungkap saat kemunculan Pagar Laut sepanjang 30,6 kilometer di pesisir Tangerang yang masih berkaitan dengan pengembangan PIK 2.
Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN memberikan sanksi pembebasan dan penghentian dari jabatan enam pejabat dan sanksi berat terhadap dua lainnya. Dalam kasus itu, Bareskrim Polri juga sempat mentersangkakan Arsin, Kepala Desa Kohod dan Ujang Karta selaku sekretaris desa. Kemudian, Candra Eka dan Septian Prasetyo yang bertugas sebagai notaris. Meski sempat ditahan, mereka sudah lepas.
PIK 2 terbentang di pesisir Kabupaten Tangerang seluas 6.000 hektar jadi pusat bisnis dan hunian yang mencangkup rumah, apartemen, ruko dan properti premium lain. Pelaksana proyek PT.Agung Sedayu Group dan PT.Salim Group. Tahap pertama pembangunan yang sudah rampung berada di Kosambi seluas 2.650 hektar. Berdasarkan master plan, pembangunan PIK 2 dari Kosambi hingga Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji.
Penelusuran tabir87news.co.id, proses pelepasan lahan sudah merambah hingga pesisir Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang. Pengembang juga menerapkan pola tukar guling lahan, seperti di Desa Muara, Teluknaga dan Kohod, Pakuhaji. Pengembang hanya membeli bangunan masyarakat karena tanah untuk pengembangan PIK 2.
Masyarakat kemudian relokasi tak jauh dari tempat tinggal sebelumnya. Sertifikat lahan relokasi tak kunjung diberikan. “Belum ada, cuma surat (surat perjanjian jual beli) dari notaris doang,” kata warga Desa Muara yang relokasi sejak Februari 2024.
Dia khawatir ada relokasi susulan, menyusul makin masif pembangunan PIK 2. Apalagi, lokasi relokasi bersebelahan dengan kawasan PIK 2. “Khawatir mah ya khawatir. Nanti usaha (tangkap ikan) makin jauh, kita kan nelayan. Kalo pindahnya jauh bingung kita usahanya.” Senada warga Kohod sampaikan. Lokasi relokasi rawan banjir. Penertiban sertfikasi pun tak ada kejelasan. “Sertifikat gak tau kapan. Kan dampaknya banyak pada banjir semua.
Kita mau nentang juga gimana? Susah.” Di pesisir Desa Kohod akan ada kawasan mewah bernama Kota Bagan atau Kampoeng Bagan. Pembangunan sudah mulai, Dalam situs resmi pengembang, Kampung Bagan PIK 2 bertemakan suasana di kawasan bagan Sumatera Utara. Di lokasi ini akan dibangun perumahan dengan nuansa tematik suasana kota bagan modern beserta fasilitasnya. Harga properti pengambang tawarkan miliaran.
Kampung Bagan di Desa Kohod. Sebagian warga di Desa Kohod ada yang bertahan karena menolak sistem relokasi ini. Di kampung Alar Jiban, ada 55 warga menolak. “Mereka menginginkan pembebasan murni. Tidak ingin relokasi. Mereka ingin dibayar tanahnya, bangunannya dibayar,” ucap Henri Kusuma, kuasa hukum warga. Relokasi juga terjadi di Kampung Cituis, Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji.
Pemerintah harus turun tangan
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengatakan, pemerintah terkesan membiarkan konflik agraria di pesisir Tangerang terus terjadi. Alih-alih, melindungi dan memastikan masyarakat mendapatkan haknya.
Kasus pagar laut sempat ramai kala Presiden Prabowo Subianto sempat mengambil tindakan tegas memerintahkan mencabut pagar laut dan mengusut tuntas kasus itu. Seiring waktu, kasus justru menguap dan tak ada tindakan lagi.
Begitu pula pencopotam ketika label PSN PIK 2, konflik agraria di Pantai Utara (Pantura) Tangerang justru tetap terjadi. Dia bilang, permasalahan itu mencerminkan sistem agraria di Indonesia belum membaik. Justru makin jauh dari keberpihakan kepada kelompok-kelompok marginal seperti petani ataupun nelayan.
“BPN Banten termasuk Kementerian ATR/BPN itu tidak bisa lepas tangan begitu saja, tugas dari kementerian agraria itu harus memproteksi, melindungi, dan menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat.”
Seharusnya, kata Dewi, pemerintah memastikan reforma agraria dalam konteks pengembangan PIK 2 berjalan sesuai agenda Presiden Prabowo dalam Visi Indonesia Maju, secara keseluruhan bukan parsial. “Pengembangannya itu tidak boleh mengabaikan kewajiban pemerintah di Banten termasuk pemerintah pusat untuk menjalankan reforma agraria baik bagi petani, nelayan, di pesisir Tangerang.”
Ketika menetapkan relokasi, katanya, bukan hanya merelokasi tanpa tidak ada transparansi proses. “Misal, lokasinya dimana, bagaimana ganti rugi yang memadai dan tidak mendegradasi hak masyarakat yang terdampak?”
Bukan sekadar ganti rugi materiil, juga immaterial, yakni dampak kerugian ekonomi dan sosial yang berkaitan dengan mata pencaharian pasca relokasi. “Relokasi itu tidak boleh mengabaikan konstitusionalitas dari masyarakat itu sendiri mereka itu punya hak,” ucap Dewi.
Senada Susan Herawati Romica, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Dia bilang, masyarakat dibenturkan dengan kepentingan pemerintah yang seolah-olah ingin mendapatkan nilai tambah ekonomi dari pembangunan PIK 2.
Pemerintah, katanya tidak mempertimbangkan dampak masyarakat yang lebih dulu tinggal dan membangun peradaban di pesisir Tangerang. “Mereka (masyarakat) ini seperti dimanipulasi. Rata-rata area relokasi yang ditempatkan jadi tempat baru bukan dalam kondisi cukup baik. Tidak menutup kemungkinan mereka akan digusur lagi ke depan. Tidak ada jaminan soal ini.”
Andra Soni, Gubernur Banten mengatakan, tidak bisa ikut campur terlalu jauh dalam urusan proses hukum masyarakat terkait pengembangan PIK 2. Dia bilang, perizinan pembangunan PIK 2 merupakan kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah Banten, hanya mengikuti arahan pusat. “Sejauh ini tidak ada perkembangan lain selain kita mengikuti apa yang terjadi di pemerintah pusat.” (red)