Mahasiswi Universitas Bhakti Kencana Serang Dilarang Ujian Gara-Gara SPP, Diduga Bukan Kasus Pertama
Mahasiswi berinisial NS, dari program studi Kebidanan, mengaku kecewa dan bingung dengan perlakuan kampusnya. Padahal, menurutnya, orang tuanya selalu berusaha memenuhi kewajiban administrasi, meskipun beberapa kali mengalami keterlambatan.
“Kata dosen saya tidak bisa ikut ujian. Kalau mau ikut ujian harus lunas SPP. Padahal saya sudah bawa uang Rp500 ribu, sisanya mau dibayar orangtua saya yang sedang kerja,” ungkap NS dengan mata berkaca-kaca.
Orangtua Mahasiswi: “Tolong Jangan Bebankan Anak Saya”
Dihubungi secara terpisah, ayah NS berinisial MG yang bekerja sebagai sopir, mengaku sangat keberatan dan sedih atas perlakuan tersebut. Ia menyatakan bahwa urusan biaya kuliah adalah tanggung jawabnya sebagai orang tua, bukan anaknya.
“Saya sedang berusaha keras menutupi tunggakan. Tapi mohon, jangan korbankan anak saya dalam proses belajarnya. Saya siap mencicil atau mencari jalan keluar, asal anak saya tetap bisa ujian,” ungkap MG dengan nada haru.
Dosen: Tidak Ada Kebijakan, Harus Lunas
Ketika dikonfirmasi, salah satu dosen kampus bernama Maghfiroh membenarkan bahwa NS tidak diperbolehkan mengikuti ujian karena belum melunasi administrasi.
“Kami tidak bisa memberikan kebijakan, karena NS dari awal memang sering menunggak. Ini sudah akhir semester, jadi semua harus lunas untuk bisa ikut ujian,” ujarnya via telepon.
Melanggar Aturan Pemerintah?
Tindakan pihak kampus yang melarang mahasiswa mengikuti ujian karena alasan finansial jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008 Pasal 52, yang menyatakan bahwa pungutan biaya pendidikan tidak boleh dikaitkan dengan syarat akademik, penilaian, maupun kelulusan.
Artinya, tunggakan administrasi bukan alasan yang sah untuk melarang mahasiswa ikut ujian, dan seharusnya diselesaikan antara pihak kampus dan wali/orangtua secara terpisah, bukan dengan mengorbankan hak belajar mahasiswa.
Dinas Pendidikan & Pemerintah Daerah Harus Bertindak
Hingga berita ini diturunkan, tim redaksi masih mencoba menghubungi pihak Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Kementerian Pendidikan, dan Pemerintah Kota Serang untuk meminta klarifikasi dan tindakan lebih lanjut. Dugaan sementara, kasus serupa tidak hanya terjadi sekali di kampus tersebut.
Di tengah visi Presiden Prabowo Subianto untuk menciptakan generasi pintar dan unggul, praktik diskriminatif seperti ini justru menjadi ironi. Ketika masyarakat kecil ingin mengakses pendidikan namun justru dihadapkan pada intimidasi sistem pendidikan yang tidak berpihak.
“Kalau belajar saja sudah dipersulit karena uang, bagaimana anak-anak miskin bisa pintar? Bagaimana kita mau mencetak generasi Indonesia superpower?” kata salah satu aktivis pendidikan di Serang.
Kejadian ini harus menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan Indonesia, bahwa akses dan hak pendidikan tidak boleh dikomersialisasi secara membabi buta. Mahasiswa adalah aset bangsa, bukan beban finansial. (red)